LSM KOMANDO
RAKYAT INDONESIA
berpedoman kepada
1. UU No 31
tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. UU No.28
tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dari bentuk KKN,
3. UU.No 30
tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
4. UU No.32
tahun 2004 tentang pemerintah daerah, PP No.71 tahun 2000 tentang peran serta
masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi,
5. Inpres No.5 tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi,
6. UU No. 8 tahun 1985 Organisasi Kemasyarakatan,
7. UU No.14 2008 tentang Keterbukaan Infomasi
Publik,
8. UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
9. UU No.01 tahun 2004 tentang Perbendaharaan,
10. UU No.10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan
Perundangan-Undangan,
11. UU No.15 tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara,
12. UU No.25 tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan
Pembagunan Nasional.
Peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi,
saat ini sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya dengan dikeluarkannya
UU
No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari
KKN, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, serta terakhir dengan diratifikasinya United Nations Convention
Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti
Korupsi, 2003) dengan UU No. 7 Tahun 2006. Menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk
dalam Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut :
1.
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara (Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999).
2.
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara (Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999).
3.
Setiap orang atau pegawai negeri sipil/penyelenggara negara yang memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan
maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
atau memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena
atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan
atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001).
4.
Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
atau. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk
diadili. (Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001).
5.
Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001:
a.
pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan
bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang
yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara
dalam keadaan perang;
b.
setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan
orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam keadaan perang
c.
setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan
curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d.
setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan
perang.
e.
Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima
penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan
perang atau yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.
6.
Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya,
atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh
orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 UU No. 20
tahun 2001).
7.
Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi (Pasal 9 UU No. 20 tahun 2001).
8.
Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja (Pasal 10 UU No. 20 Tahun 2001):
a.
menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
barang, akta, surat,
atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat
yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
b.
membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat,
atau daftar tersebut; atau
c.
membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat,
atau daftar tersebut.
9.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang
menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan
dengan jabatannya (Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001).
10.
Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 :
a.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau
disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan kewajibannya;
c.
hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara
yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d.
seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan,
berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri;
f.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolaholah pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang
kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolaholah merupakan
utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah
sesuai dengan peraturan perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak,
padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan
perundangundangan; atau
i.
pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung
dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang
pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk
mengurus atau mengawasinya.
11.
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya. (Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001).
12.
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan
mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,
atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan (Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999).
13.
Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas
menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai
tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undangundang ini
(Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999).
Malang, 17 oktober 2015
Ditulis
oleh SEKJEN LSM KRI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar